Much. Khoiri
Alangkah tidak sederhananya menerjemahkan ungkapan di atas dalam kehidupan sehari-hari. Perlu komitmen tinggi untuk mewujudkannya dalam setiap pikiran, ucapan, dan tindakan. Yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana berjiwa besar.
Betapa tidak. Tugas-tugas silih berganti dan tidak ada habisnya. Hari-hari belakangan ini aku tak tega kalau tidak membantu mahasiswa bimbinganku mengejar deadline ujian skripsi mereka. Mau tak mau aku juga ikut melekan lembur membaca draft mereka, memberikan koreksi secukupnya, dan memberikan dorongan mental dan moral. Karena itu, di sela-sela tugas-tugas lain, bimbingan harus lancar.
Belum lagi kalau mahasiswa meminta aku untuk mendampingi mereka setiap waktu. Tak jarang mereka ber-sms, memengirim email, atau chatting lewat fesbuk—semuanya dalam rangka konsultasi skripsi mereka; bahkan masalah lain yang bersifat non-akademik. Dan jumlahnya tidak hanya satu, melainkan belasan!
Tugas-tugas lain seperti mengoreksi makalah, membuat bahan untuk profil universitas, dan mengedit buku (Al-Hikmah) juga harus jalan. Jika diukur-ukur, tugas-tugas ini terasa memberatkan—dan bahkan membebani. Akan tetapi, untuk komitmen terhadap tugas, semuanya harus aku kerjakan.
Belajar untuk menganggap tugas membimbing skripsi mahasiswa bukanlah masalah, kadang terasa berat, kendati secara umum kuanggap enteng dan riang. Bagaimana pun, aku harus berusaha. Aku pernah menulis arikel yang berjudul “Melayani (Semua) Mahasiswa dengan Amanah” (Majalah Unesa, April 2011), dan aku ingin konsisten mengamalkan apa yang pernah aku tulis: Membimbing skripsi itu bagian pelayanan mahasiswa, dan harus dilakukan dengan amanah.
Demikian pun dengan tugas-tugas lain. Aku ingin menganggap semua itu bukan masalah sama sekali. Tugas adalah tugas, dan tugas harus dilaksanakan. Itu konsekwensi sebuah profesi, dan aku memang sedang menekuni profesi ini. Aku yakin, setiap profesi, juga setiap ranah kehidupan lain, sebenarnya menuntut manusia untuk berani mengambil keputusan dan menerima konsekwensinya.
Hari ini aku belajar lagi untuk berjiwa besar. Jika aku berpikir punya masalah, aku pasti punya masalah; jika tidak berpikir demikian, aku akan merasakan tak punya masalah. Maksudnya, jika suatu masalah aku besar-besarkan, itu benar-benar menjadi malapetaka. Karena itu, masalah itu ingin kuanggap wajar-wajar saja.
Hari ini hidupku mengalir dengan indahnya. Kunikmati saja hari kedua bertugas menjaga SNMPTN 2011—apalagi kemudian mendapat insentif Rp. 340.000. Tidak besar jumlahnya (ada yang meledek “Yang besar pengabdian Anda.), namun aku terima saja dengan jiwa besar, wah ternyata yang mengedepan adalah rasa syukur: Alhamdulillah ada tambahan uang bensin.
Setelah ujian, aku masih bisa berbagi juga. Alhamdulillah, mahasiswa MKI berkonsultasi untuk etnografinya. Ada empat mahasiswa bimbingan skripsi yang harus aku bantu mengejar deadline—Mudah-mudahan bisa ujian pada minggu depan. Rata-rata bimbinganku hebat-hebat kali ini—minimal hebat semangatnya.
Selain itu, aku menjembatani dua teman dosen untuk menjadi juri lomba pidato bahasa Inggris di sebuah SMA pondok pesantren Kanjeng Sepuh, Sidayu, Gresik. Guru bahasa Inggris, A. Ghoffar, adalah alumni kita angkatan 1989—aku pernah mengajarnya ketika aku masih calon PNS alias capeg dulu. Kali ini beliau mengundangku untuk jadi juri, namun karena aku tidak bisa akibat jadwal yang bersamaan, aku mereferensikan dua orang dosen untuk “menggantikan” kehadiranku. What a real deal.
Aku bersyukur dalam-dalam. Menganggap “masalah” bukan sebagai masalah, ternyata membuat pikiran enteng dan hati tenteram. Aku bersyukur karena masih berkesempatan untuk belajar memaknai hakikat berjiwa besar.***
Surabaya, Rabu 01 Juni 2011
1 komentar:
saya tak akan pernah bisa membayangkan jika lau itu saya di posisi bapak...terkadang hanya mendapatkan tugas seprti ini saja keluhan2 yg bertubi2. semngat buat bapak smoga tetap menjadi inspirasi kami :)
Posting Komentar