Belum lama ini
Mendikbud M. Nuh memberikan toleransi kepada guru yang memberikan hukuman fisik
kepada siswa selama hukuman fisik itu masih dalam batas wajar dan bertujuan
untuk mendidik.
Tak urung, isyarat
Mendikbud ini mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak, baik pro maupun
kontra. Muaranya, perlu dipertegas bagaimana definisi hukuman fisik yang masih
dalam batas wajar itu. Di samping itu, perlu juga dipertegas seberapa besar
dampak hukuman fisik bagi terapi yang sifatnya mendidik.
Namun, begitulah. Bekerja
dan mengabdi di dunia pendidikan itu tak jarang menjadi repot dan
dilematis—itulah yang mungkin dirasakan oleh para guru. Sementara, orangtua
menuntut sesuatu yang terbaik. Tak jarang muncul ketidaksesuaian antara harapan
guru dan harapan orangtua.
Salah satunya adalah
kedisiplinan siswa. Kedisiplinan siswa benar-benar sarat teka-teki dalam
implementasinya. Bolehkah memberikan hukuman fisik (wajar) untuk membangun dan
menegakkan disiplin di sekolah? Lebih ekstremnya, perlukah sejatinya
mendisiplinkan siswa?
Dalam hal ini ada
pelajaran menarik dari kasus seorang kepala
sekolah menjewer siswanya beberapa waktu lalu,
yakni betapa dilematisnya menegakkan disiplin! Di satu sisi disiplin penting
agar tercipta ketertiban, kelancaran, dan keberhasilan pendidikan. Di sisi
lain, orangtua kadang tak terima kalau anaknya diberi sanksi fisik meski anak tersebut nyata-nyata melanggar
disiplin.
Rasionalnya begini: Tidak
ber-hasduk, bagi pihak sekolah, melanggar disiplin, dan diberi sanksi “jeweran
sayang”. Itu pun setelah ada peringatan sebelumnya. Tujuannya, bukan menyiksa,
justru agar ada efek jera. Menurut pihak
sekolah, disiplin bersama harus dimulai dari
hal-hal kecil semacam itu.
Memang
orangtua yang telah pasrah ke sekolah agar anaknya dididik utuh, bukan hanya memahami
buku tapi juga menempa kepribadian (termasuk disiplin), memahami langkah
sekolah. Mendidik anak perlu ada reward
dan punishment. Sekolah bahkan bertekad menyempurnakan proses pendidikan di
rumah.
Namun,
ada orangtua overprotektif terhadap anaknya. Terlalu sayang! Belajar mata pelajaran yes,
disiplin oke, tapi jika melanggar, sanksi nanti dulu lah: mbok ya jangan disanksi fisik! Kilahnya, wong seumur-umur mereka tak pernah mencubit anaknya, kok guru seenaknya menjewer kuping. Yang dilihat orang kelompok ini hanya tindakan guru
menjewer siswa, bukan jenis dan tingkat pelanggarannya.
Orangtua
kelompok kedua ini
merasa, bahwa sanksi fisik itu
melanggar HAM. Namun, mereka lupa, berlakunya hak siswa di sekolah dibatasi kewajibannya
menaati hak sekolah dalam menegakkan
peraturan. Agaknya mereka hanya mengharapkan sanksi yang lunak-lunak saja
terhadap anaknya.
Saya
jadi teringat semasa bersekolah SMP di sebuah daerah di
kabupaten Madiun pada tahun 1980-an. Kalau ada siswa salah dihukum atau dijejer (dihukum
berdiri) di
depan kelas, tidak ikut upacara dijemur
di lapangan, tidak berseragam harus pulang ambil seragam, atau membolos harus menulis pernyataan yang
diteken orangtua. Di sini ada kontrol proporsional, dan roh pendidikan menemukan
konteksnya.
Memang
siswa tahun 1980-an disanksi fisik untuk tujuan
mendidik disiplin, diterima sebagai kelumrahan dan tiada protes atas nama HAM. Saat itu orangtua sangat menghormati kondisi dan kewenangan sekolah untuk
mendidik siswa, termasuk mendisiplinkan siswa. Sementara itu,
orangtua sekarang banyak yang sewot ketika anaknya disanksi
fisik meski nyata-nyata telah melanggar disiplin. Isu-isu HAM
sering dijadikan bemper atau tameng pelindung.
Nah, sekarang marilah direnungkan. Jika ada pelanggaran disiplin, tidak
berhakkah pihak sekolah memberi sanksi? Apakah pelanggaran itu cukup diperingatkan
berulang, dipersuasi terus-menerus, ataukah diberi sanksi “lunak” semisal
menulis surat pernyataan bermaterei Rp 6000,- misalnya? Bagaimana
kalau pelanggarannya berupa meledek guru sampai menangis, menjahili teman,
menyontek, atau tawuran?
Agaknya rasionalnya
tidak selaras. Mana mungkin masalah non-akademik
didekati dengan terapi akademik? Hal itu ibarat mengobati kanker dengan obat
penyakit kulit. Efek kuratifnya bisa
jadi meragukan. Siswa akan meremehkan aturan,
dan mengira pelanggaran disiplin bisa “ditebus” dengan tugas.
Andaikata
pun tanggungjawab
mendisiplinkan siswa dikembalikan ke orangtua (overprotektif) tersebut,
pastilah mereka tak mau. Mereka akan
bersikap lepas tangan, dan mengklaim telah
mendidik anak mereka
di rumah, meski anaknya mungkin “lepas kontrol”
sesaat keluar rumah. Lagi-lagi, sekolah dikambinghitamkan atau disalahkan.
Oleh karena itu,
bisa dikatakan, alangkah repotnya
membina disiplin di sekolah. Padahal, jika pelanggaran disiplin dibiarkan alias tidak ditangani ,
sekolah hanya identik tempat mengajar, bukan tempat mendidik disiplin, budi
pekerti, sopan santun, dan sebagainya. Orangtua secara tak sadar telah
mereduksi atau mengerdilkan tugas
mendidik guru, dan menilai guru hanya sebagai “pekerja” yang “mengajarkan” sesuatu.
Dampaknya, selain kehilangan otonomi mendidik, sekolah dan/atau guru akan
superhati-hati menentukan sanksi atas pelanggaran. Padahal jika tanpa sanksi,
apakah guna sebuah peraturan (dibuat atau
dirumuskan)? Sepak bola saja, di balik
kekerasannya, menjunjung tinggi sportivitas berkaitan dengan disiplin.
Dan, sampai kini, belum ada ceritanya
pemain mempraperadilkan wasit atas nama HAM kalau dia diganjar kartu merah.
Oleh karena itu, seyogianya
jangan sedikit-sedikit HAM, yang ironisnya justru memanjakan siswa (karena
merasa terlindungi). Malah perlu direnungkan, bukankah membiarkan siswa
melanggar disiplin berulang-kali hingga lepas kendali dan menjadi anak yang liar
dan lembek kepribadiannya adalah pelanggaran HAM yang nyata (meski prosesnya dalam jangka panjang)?
Orangtua seyogianya justru harus lebih arif
memaknai HAM dalam konteks disiplin siswa
di sekolah. Ada “kewajiban asasi” yang harus
dihormati bersama, dan digunakan sebagai pembatas dan penegas tafsir HAM dalam
konteks penegakan disiplin di sekolah.
Bagaimana pun,
sekolah bukanlah pasar krempyeng atau
pasar malam. Ada sistem yang harus dijalankan dan dikembangkan.
Siapapun seharusnya beradaptasi
diri dengan aturan main sistem itu. Bukankah kancil pun mesti belajar mengembik
dikala berada di kandang
kambing? Dalam hal ini,
dalam momentum ini, marilah
bertanya pada hati nurani.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar